Perangkat Mengajar (Silabus-RPP)

Pengajaran yang Menyenangkan

Dengan aktif melibatkan anak-anak dan menghanyutkan mereka dalam pengalaman konkret, subjek yang diajarkan dapat dimengerti anak-anak. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan daya minat anak-anak, membangun rasa percaya diri mereka dan selalu bersemangat untuk terus belajar
Yudhi
Pengajaran yang Menyenangkan
MAHA Suci ALLAH yang telah memberikan kita akan keindahan hidup di dunia, kasih sayang, kebaikan, kecerdasan dan nikmat-nikmat lainnya yang mana tidak dapat kita hitung berapa besar jumlahnya. Teriring Shalawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi kita yaitu Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, sahabatnya, dan pengikutnya yang dengan baik mengikuti jejak sunnahnya hingga Yaumil akhir nanti. Amin ya Robbal a’lamin.

Saat ini, system pendidikan di Indonesia cenderung menganggap siswa-siswi sebagai bejana kosong yang perlu diisi, bukan membangkitkan semangat agar para siswa-siswi bergairah dalam belajar. Karena tujuannya untuk mengisi bejana, maka siswa-siswi sering diberikan dengan berbagai materi pelajaran sebanyak mungkin.

Waktu disekolah 6-7 jam sehari, serasa belum cukup, sehingga para siswa-siswi perlu diberikan PR yang memerlukan waktu sampai tengah malam untuk mengerjakannya. Sistem pendidikan seperti ini membuat api “gairah” anak-anak untuk belajar menjadi padam sebelum dewasa, apabila tidak ada semangat, kegairahan serta rasa cinta untuk belajar, maka harapan untuk membentuk generasi unggul yang cerdas budi dan akalnya, kreatif dan inovatif, serta mampu memberikan solusi berbagai masalah kehidupan akan gagal pula.

Sebetulnya, setiap manusia dianugerahi instink (kecerdasan alami) untuk belajar. Belajar adalah proses alamiah seperti halnya bernafas. Menurut seorang pakar pendidikan, Peter Kline, manusia sejak lahir dianugerahi dua instink salah satunya yaitu instink belajar. Kline mengibaratkan seorang bayi yang cepat sekali belajar bahasa dan mengenal lingkungannya walau orang tuanya tidak menginstruksikannya secara langsung.

Ia belajar dengan bereksplorasi yang melibatkan seluruh aspek inderanya; mencium, meraba, mencicipi, merasakan, merangkak, berbicara, mendengar dan betul-betul terhanyut dalam proses belajar tersebut. Anak-anak kecil begitu tertarik dengan segala yang ada didepan matanya. Kalau menurut Bob Samples, “sebelum kita bisa berjalan, berbicara atau menulis kita bisa mengisi diri kita dengan kegembiraan belajar yang luar biasa”.

Mengapa instink cinta belajar sirna begitu saja dalam kehidupan manusia? Menurut Kline, sumber kesalahan ada pada orang tua. Mereka salah dalam memotivasi anak-anaknya. Hal ini diperparah oleh system pengajaran di sekolah yang tradisional, telah mematikan instink ini. Belajar penuh eksplorasi telah dibunuh di lingkungan rumah dan sekolah dengan cara belajar yang terstruktur dan di paksakan. Anak hanya duduk diam, sehingga proses belajar menjadi tidak menyenangkan.

Kondisi ini sangat terlihat pada system pendidikan usia dini (dibawah umur 9 tahun). Anak-anak hilang masa bermain dan bereksplorasi sehingga mati instink belajarnya.

Pengajaran Menyenangkan

Bagaimana agar anak-anak dapat belajar dengan tetap mengembangkan instinknya? Salah satu caranya adalah mengembangkan “kurikulum Pembelajaran Terpadu”. Tujuannya agar anak-anak bisa menjadi pembelajar seumur hidup (Lifelong Learners) seorang pembelajar dapat berfikir kritis, imajinatif, dapat memberi alternative solusi, menghargai perbedaan, dapat bekerjasama dan mampu menjadi insan peduli.

Dengan system ini, anak-anak dijadikan pusat kegiatan. Mereka “terhanyutkan” dalam pengalaman konkret, sehingga dapat mengoptimalkan seluruh potensi yang dimilikinya. Dengan aktif melibatkan anak-anak dan menghanyutkan mereka dalam pengalaman konkret, subjek yang diajarkan dapat dimengerti anak-anak. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan daya minat anak-anak, membangun rasa percaya diri mereka dan selalu bersemangat untuk terus belajar.

Eva Reeder, seorang guru matematika dari Mountlake Terrace High School di Washington dapat menjadi contoh. Ketika para siswa-siswi diberi pelajaran membuat grafik, para siswa-siswi diajak ke lapangan dan disuruh membuat garis koordinat X dan Y. Kemudian setiap siswa disuruh berdiri diantara kedua koordinat tersebut satu persatu (ibarat membuat titik plot dalam grafik ) sehingga mereka berpura-pura menjadi titik-titik dalam sebuah pola garis.

Cara ini telah terbukti lebih efektif, dalam sehari para siswa-siswi mampu memahami konsep grafik. Sedangkan belajar dengan cara tradisional yang memakai gambar grafik dalam buku teks, memakan waktu satu bulan untuk bisa dipahami para siswa-siswinya.

Dalam system pengajaran tradisional yang satu arah, dimana anak-anak hanya diberikan instruksi, materi yang mampu diserap hanya sepuluh persen saja. Bahkan menurut Benjamin Franklin, anak-anak akan lupa atau tidak menyerap sama sekali. Sedangkan apabila anak-anak terlibat aktif, dengan mendapatkan pengalaman konkret, daya serapnya semakin tinggi.

Mengajarkan Berfikir

Keunggulan system pengajaran terpadu ini adalah membiasakan anak-anak berfikir Holistik ( menyeluruh ) tidak Fragmented ( melihat masalah dari satu sisi saja ). Sistem pendidikan konvensional yang ada di Indonesia adalah dengan melihat masalah dari satu sisi saja.

Anak-anak diberikan mata pelajaran terpisah, antara satu pelajaran dengan pelajaran yang lain tidak saling berhubungan. Padahal, dalam kehidupan yang nyata setiap fenomena tidak dapat dilihat dari satu sisi saja. Sistem ini bisa di lakukan dengan pembuatan tema, misalnya Saya— dapat dilihat dari sisi ilmu sosial, ilmu pengetahuan
alam, agama, olahraga, matematika dan sebagainya.

Dengan system seperti ini, anak-anak di harapkan dapat mengerti bahwa di dalam setiap kegiatan, pasti ada nilai-nilai moralnya. Cara ini akan mendorong anak-anak untuk menyadari bahwa setiap aspek moral harus di terapkan dalam kegiatan sehari-hari dan semoga kedepannya akan lahir para generasi yang berprestasi dan berinsan mulia dengan mengoptimalkan seluruh kekuatan kecerdasan Intelektual, kecerdasan Emosional dan kecerdasan Spiritual. Wallahu a’lam (*)

Anbar Saputra


0 Comments: